Kegelisahan Musik Masa Kini: Fisik, Digital atau Malah Bajakan? Bagian 1

"Digital VS Fisik", karya pribadi

Blog kali ini berangkat dari kecemasan gue terhadap industri musik pada zaman sekarang, kurang lebihnya dalam 10 tahun terakhir. Dan juga semacam lanjutan dari postingan yang ini.

Disclaimer: gue bukan orang yang paham sepenuhnya akan industri musik, jadi ketikan ini isinya akan banyak berangkat dari kegelisahan, opini dan hasil riset kecil-kecilan secara pribadi. Dan juga postingan ini tidak untuk menyerang atau menyinggung pihak-pihak tertentu.

Salah satu kegelisahan gue ini berangkat dari waktu gue beli CD album asli band indie/sidestream asal Bandung bernama Rock N Roll Mafia (RNRM), berjudul Outbox pada tahun 2019 lalu. Gue tahu band ini dari waktu gue masih SMP, kurang lebih pada tahun yang sama ketika video klip dari lagu berjudul Zsa Zsa Zsu muncul di salah satu stasiun TV swasta.

Gue berhasil mendapatkan CD album tersebut melalui salah satu situs e-commerce, dengan harga yang masih cukup terjangkau untuk sebuah barang tua yang bahkan sudah tidak dirilis ulang dalam format apapun. Ya, album ini tidak ada secara digital baik di Spotify maupun iTunes. Alasan itulah yang membuat gue sedikit menjelajah e-commerce lokal mencari keberadaan CD album ini. Ajaibnya memang langsung ketemu, barang masih tersedia di etalase toko, dan CD lancar diputar.

Kegelisahan kedua, masih dari RNRM juga, adalah pada awal-awal tahun ini, versi digital album mereka yang berjudul Prodigal hilang dari Spotify. Mengejutkan? Sangat. Karena sebelum album ini menghilang dari Spotify, gue sering kali memutar album ini saat kerja atau menyetir mobil. Sehingga pada bulan April lalu, gue jadi beli CD album mereka yang ini, beserta CD album dan EP punya White Shoes & The Couples Company (WSATCC); tapi pembahasan WSATCC adalah untuk di paragraf lainnya saja.

Gue beli kedua CD RNRM tersebut karena gue mau mendengarkan kembali lagu berjudul Zsa Zsa Zsu dan Never Give Up secara utuh, resmi, tapi bukan melalui video klip pada kanal YouTube mereka saja. Waktu gue komen di salah satu video klip mereka untuk memunculkan kembali album Outbox dalam format digital, gue inget mereka membalas "mohon ditunggu ya" atau "coming soon" dengan harapan ini akan segera terjadi dalam beberapa bulan setelah komen gue itu. Namun sampai hari ini, baik di Spotify maupun iTunes, tetap belum ada sesuatu yang baru pada artist's page mereka. Well, album Prodigal ada di Joox sih, tapi kebanyakan bayar jasa streaming itu nggak baik juga; nanti gue jelaskan.

Hal lainnya yang bikin gue kepikiran adalah ketika gue menemukan ada suatu grup di Facebook bernama Museum Internet Indonesia (Indonesian Lost Media Archive). Ini adalah grup yang isinya mencari lost media atau media-media yang hilang. Ada yang mencari iklan yang sudah tidak tayang di TV, acara/serial TV lokal yang sudah tidak tayang, serial luar negeri lawas dengan dubbing bahasa Indonesia, atau bahkan yang spesifik seperti video adzan maghrib salah satu TV swasta yang diduga ada penampakan miss K (sosok gaib, hehe).

Gue mengkaitkan grup Facebook tersebut dengan beberapa album musik yang sebagian atau seluruhnya sudah tidak beredar lagi, baik dalam versi fisik maupun digital streaming. Apakah album musik tersebut bisa dihitung sebagai lost media? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya lost/hilang.

Beberapa album fisik tersebut ada yang masih beredar di pasaran daring ataupun luring, baik dalam kondisi baru maupun bekas, paling jauh pun adalah berupa file digital bajakan yang diunggah ke beragam situs di internet. Namun, dikarenakan album fisik mereka merupakan barang lama, harganya bisa dibilang ajaib dan berbeda-beda tentunya. Sebagai contoh, berikut ini adalah harga album pertama WSATCC yang gue temui di salah satu situs e-commerce lokal:

Dokumentasi pribadi

Mengejutkan bukan?

Namun dibandingkan dengan album RNRM yang gue beli di 2019, harganya berbeda jauh. Gue sempat memikirkan apakah ini pengaruh popularitas juga? Tanpa bermaksud menyerang atau membandingkan yang terkesan bagaimana, RNRM yang meski gaungnya (mungkin) tidak sebesar WSATCC, tetap punya penggemarnya sendiri. Gue jujur saja memang menyukai kedua grup tersebut, terutama karena musiknya cocok buat kuping dan gue. Jadi apa yang menyebabkan harga album pertama WSATCC sungguh mahal? Itu gue serahkan ke pemahaman pembaca saja.

"Tapi kan, masih ada digital streaming!"

Jujur aja nih, mau seberapapun powerful-nya Spotify atau iTunes, nggak jaminan masih ada sampai nanti. Kenapa? Semua itu juga bergantung pada kesepakatan musisi dengan record label untuk distribusi musiknya agar sampai ke fans lama maupun pendengar baru. Atau, bisa saja tidak ada kesepakatan musisi yang punya label rekaman sendiri dengan jasa streaming tertentu, dan beragam alasan lainnya. Beberapa karya WSATCC dan RNRM tidak ada secara digital bisa jadi karena alasan-alasan di atas.

Bayangkan contohnya seperti beberapa komik antologi lokal bulanan, atau yang ada versi digitalnya, yang tidak bisa diterbitkan secara bebas karena mengikuti kondisi jasa penerbitnya juga. Jika penerbit tutup, maka kelanjutan suatu judul komik tidak semudah itu dijalankan hanya dengan pindah ke penerbit lain.

Kembali ke soal musik, jadi lebih baik album fisik atau digital yang resmi? Jawabannya jujur saja agak rumit dan kembali ke selera masing-masing.

Format digital tentunya membuat banyak lagu mudah diakses dalam genggaman gawai/gadget di tangan. Tidak memenuhi ruangan tempat tinggal dengan tumpukan media fisik? Tentu saja. Tetapi harap diingat rilisan digital juga akan ada beragam rilisan dari satu musisi, sehingga hal tersebut bisa bikin library digital jadi terlalu penuh dan ada lagu-lagu yang sama dalam rilisan yang berbeda. Seperti misalnya, lo pake iTunes dan lo beli (bukan pakai sistem langganan) satu single dari suatu musisi, tidak lama setelah mereka merilis album dengan salah satu lagunya berasal dari single yang sudah dibeli sebelumnya. Dan bayangkan itu bukan satu-satunya musisi yang kalian ikuti rekam jejaknya, mungkin bisa kelimpungan "duh kok rilisan mereka banyak banget ya?".

Di sisi lain, digital streaming juga merupakan format yang kurang profitable untuk beberapa musisi. Maksudnya, musisi dibayar per jumlah streaming dari tiap lagu. Bukan bermaksud untuk merendahkan musisi-musisi tertentu, namun seandainya musisi yang mengunggah karyanya dan hanya dapat stream sedikit dalam waktu yang lama sekalipun, itu bukan praktik bisnis yang menguntungkan. Meskipun tentunya ada musisi yang punya pekerjaan lain seperti jadi dosen, pegawai swasta dan lainnya; selain memperoleh pendapatan dari touring/konser di berbagai tempat.

Lalu, apa yang harus dilakukan jika kita ingin tetap bisa mendengar lagu-lagu tersebut sampai selamanya, atau sampai akhir hayat?

Di luar sana terdapat orang-orang yang melakukan kegiatan yang disebut pengarsipan. Pengarsipan yang dilakukan adalah bersifat swadaya atau pribadi, dan tidak didukung oleh pihak manapun. Kegiatan pengarsipan itu tentunya adalah untuk menjaga keberadaan media tersebut untuk bisa dinikmati sampai kapanpun, bahkan oleh penggemar yang baru mengenal media tersebut.

Tapi, jika pengarsipan tersebut adalah sampai dengan menyebarluaskan atau memperbanyak tanpa izin, itu berarti pembajakan bukan? Ya memang, terlebih karena tidak semua orang mau keluar uang sekian banyak untuk barang langka dan mahal seperti paragraf di atas tadi; tidak semua orang mampu memahami esensi dari membayar mahal untuk barang yang 'gitu doang'. Akan selalu ada hal seperti itu dalam hobi apapun.

Di mata label rekaman, pengarsipan pribadi besar kemungkinan akan dilihat sebagai pembajakan atau pelanggaran hak cipta, terutama masih berpotensi untuk diperbanyak tanpa izin. Namun, label rekaman belum tentu mau merilis ulang album tersebut, terlebih dengan pembahasan pada paragraf-paragraf di atas, itu semua tergantung kesepakatan label rekaman dengan musisi, atau bahkan penerus pemegang hak cipta musik. Ribet, tapi di situlah gunanya hukum.

Pengarsipan, atau bahkan penggandaan karya musik tanpa izin pemegang hak cipta, itu juga meninggalkan jejak karbon tentunya. Penggunaan energi paling jelas adalah dalam storage pribadi, baik itu di dalam hard disk maupun cloud storageCloud storage itu sendiri disediakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti misalnya Google (Google Drive), yang mana Google itu sendiri perlu menggunakan energi listrik agar server dan cloud storage mereka tetap menyala guna melayani kebutuhan user.

Dalam masa digital streaming sekarang, salah satu cara terbaik untuk membantu musisi-musisi sidestream lebih didengar adalah membagikannya di media sosial. Efektif? Tergantung pada teman-teman kalian merasa terpanggil untuk mendengarkannya atau tidak. Kalau bukan karena pandemi, mungkin cara terbaik lainnya adalah saat nongkrong dan membicarakan musisi yang sekarang lagi didengarkan. Tapi itu semua kembali ke masing-masing orang, apakah musik yang kita bagikan itu cocok untuk mereka atau tidak. 

Namun, musik digital itu tidak sepenuhnya baik. Tidak baik bagaimana? Tunggu di bagian ke-2. Gue yakin blog ini sendiri sudah cukup panjang, sehingga pembahasannya harus bersambung ke bagian ke-2.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Blog Akhir Tahun 2022

Film UItraman Blazar Tayang di Jakarta

Ketemu Jodoh dengan Bantuan Aplikasi? Bagian Akhir