Bertumbuh Kembang Bersama Musik Kesukaan

Dokumentasi pribadi

Ini hal yang udah umum banget sebenernya, ya kan?

"Bro, musik yang lu dengerin waktu SMA apaan?"
"Oh, band ABC, XYZ, dll etc gitu."
"Wah sama bro! Apa kalo mereka ada konser lagi, kita nonton bareng?"
"Skoy lah gaskeun coy."

Tiap orang, baik itu generasi Baby Boomer, X, Y, bahkan Z, pasti punya selera musiknya masing-masing dari tiap era. Tapi yang jarang gue denger adalah... Kalo orang-orang tersebut punya variasi selera atau genre musik seiring berkembangnya zaman. Don't get me wrong, waktu genre J-Pop mulai pudar dan penggemarnya pelan-pelan beralih ke K-Pop, itu bukan hal yang nggak umum. Tapi genre musik yang gue dengerin mungkin banyak loncatan agak ajaib, yang mana ingin gue tunjukin dalam blog kali ini.

Musik kayak apa sih yang gue dengerin waktu... Pra-remaja deh, alias SD akhir sampai sekitaran SMP. Oke. musik kayak apa sih yang gue dengerin waktu masa pra-remaja itu? Dari sini bisa dibilang loncatannya mulai rada ajaib meski kalau ditarik mediannya (wih bahasa matematika), gue memulainya dengan musik pop Indonesia. Peterpan, Samsons, Nidji, Ada Band, Project Pop, bahkan Maliq & D'Essentials., apapun yang ada di MTV Indonesia waktu. Ha, bahkan se-jazz-nya Maliq aja gue udah mulai dengerin waktu umur segitu.

Dan satu hal yang bisa dibilang cukup penting pada masa itu adalah gue udah mulai beli karya mereka yang original/asli, alias beneran beli yang format kaset maupun CD. Seperti blog yang kemarin, gue udah mulai aware untuk mendukung suatu karya dengan membeli produk aslinya

Fun fact: dulu waktu Java Jazz 2004, gue pernah ikut bokap ke sana, dan gue gak nyangka jam acaranya adalah sore ke tengah malam. Of course my sleepy butt can't handle those gig hours, gue masih SMP waktu itu dan jam tidur normal adalah berkah hahaha. Bokap juga waktu itu agak marah sih karena gue udah ngantuk dan kudu banget pulang.

Seharusnya (mungkin) ini gue ketik di akhir sih, tapi musik yang masih gue dengerin dari dulu sampe sekarang, meskipun salah satu anggotanya telah tiada, adalah Linkin Park. Ya, waktu album Meteora mereka keluar, gue langsung suka sama Linkin Park. Musiknya gue banget, video klipnya keren-keren banget.

Disamping Linkin Park dan musisi lainnya juga, masa SMP bisa dibilang adalah masa dimana... Gue menjadi seorang otaku, atau bahkan bisa disebut wibu. Jadi dulu itu di 2006, gue punya seorang teman, nggak usah gue sebut siapa, dulunya dia itu baik banget sih dalam hobi jejepangan ini, khususnya dalam dunia tokusatsu. Waktu itu gue dikirimin sebuah DVD-ROM berisi lagu tokusatsu, buaaanyak banget. Bajakan aside, cakram DVD-ROM itu isinya lagu tokusatsu dari masing-masing genre besar, dari judul-judul pertama baik dari genre ultraman, kamen rider, maupun super sentai. Bisa juga dianggap sebagai masa dimana orang-orang pada umumnya dengerin musik apa, gue malah udah beda jalur sendiri.

Nah, waktu SMA... Gue dengerin apa ya selain lagu tokusatsu tadi? Masih rada mirip-mirip sama waktu SMP itu sih, tepatnya masih dengan grup-grup favorit tapi jelas karya mereka yang lanjut rilis pada tahun itu. Tapi dari sini juga gue mulai lebih mengenal yang namanya mengunduh secara ilegal alias bajakan. 

Gue mah gak munafik lah, bukan knight in shining armour lagi-lagi. Waktu zaman segitu gue mulai tahu yang namanya donlot-donlot bajakan dari salah satu situs forum lokal, lengkap dengan situs file hosting yang mereka punya. Namanya juga anak SMA, duit jajan terbatas, meskipun ada masanya juga gue masih beli karya asli (terbatas pada musisi yang gue suka). Nah tapi dari jalur ilegal inilah gue mulai tahu dan suka beberapa musisi lain yang belum pernah gue denger sebelumnya.

Dan pada masa SMA juga gue lebih ngerasain yang namanya tidak ngikutin musik mainstream, tapi bukan berarti gue ngikutin musisi indie saja maksudnya. Baik anak cowok maupun cewek di sekolah gue, pasti dengerin musiknya sendiri-sendiri. Yang cewek mungkin ngikutin beberapa boyband yang tenar di masa itu (2007-2009), yang cowok kayaknya... Dengerin rock dan punk, dan juga mungkin sedikit di genre grunge. 

Selain masih beli CD ori dari musisi yang gue ikutin, di jalur ilegal itu gue nyicip musisi-musisi lain. Yang gue suka waktu itu, meskipun bajakan, adalah Onerepublic, Efek Rumah Kaca (band indie asal Jakarta) dan Rock N Roll Mafia (band indie asal Bandung). Ya, dari umur segitu gue sudah mulai ngeh keberadaan musisi indie Indonesia, meskipun kalo diingat-ingat, sayang juga gue mengenal mereka dari jalur ilegal, padahal musisi kayak mereka (atau musisi jenis apapun tepatnya) tetep kudu didukung dengan ndengerin karya mereka yang asli (tepatnya dengan membeli kopian asli karya mereka waktu itu).

Oh ini spesifik soal Rock N Roll Mafia. Seinget gue, mereka menjadi gerbang masuk gue ke ranah musik indie Indonesia. Gue tahu mereka dari video klip mereka berjudul "Zsa Zsa Zsu" yang dibuat oleh grup videografer Tromarama. Waktu itu video klip mereka tayang di salah satu stasiun TV swasta O Channel,  yang mana waktu itu program/acaranya belum banyak, tapi diisi dengan beragam video klip musik untuk mengisi slot tayangan yang kosong. Musik mereka pun waktu itu melebihi dari apa yang gue tahu di masa itu; maksudnya, gue selalu ngedengerin musisi-musisi mainstream, dan RNRM ini merupakan hal baru buat gue. Video klip mereka Zsa Zsa Zsu bisa ditonton di sini, atau di bawah ini:


Dan masih di masa SMA serta lewat jalur ilegal juga, gue mulai menyelami soundtrack film, tepatnya background music, alias BGM, alias musik latar. Ya, musik-musik yang keluar untuk mendukung suasana adegan-adegan tertentu dalam film, serta biasanya hanya instrumental semata (tanpa wording/lirik). Gue lupa yang pertama kali gue unduh dari film apa, antara Transformers (2007) atau Iron Man (2008). Dari sanalah gue mulai memahami dan menyukai musik-musik instrumental. meski tanpa lirik, rasanya musik kayak gini tuh cocok buat membangun suasana hidup (halah), dan juga punya interpretasi berbeda-beda (meskipun kegunaan utamanya adalah adegan pada film).

Pas kuliah? Masih mirip dengan sebelumnya juga. Fokus musik gue adalah masih tetep pada Linkin Park. Bajakan? Jalan juga. Musik wibu? Jelas tetep jalan, terutama karena nonton sentai, ultraman, kamen rider adalah kewajiban. Tapi, whew, beli robot-robotan Jepang asli lumayan mengganggu hobi mendengarkan musik. Oh tapi di masa ini juga gue mulai mendengarkan musik-musik ala Vocaloid. Ya, Vocaloid yang merupakan piranti lunak untuk voice synthesizer itu.

Jadi pada masa kuliah itu, karena gue mulai mengikuti suatu unit kegiatan mahasiswa/UKM penggemar budaya Jepang, gue mulai tahu sama yang namanya Vocaloid. Jujur aja, they were pretty weird pada titik-titik tertentu, tapi juga keren di saat bersamaan. Banyak producer (istilah untuk pembuat lagu menggunakan software Vocaloid) Vocaloid yang mengjasilkan lagu-lagu keren; meskipun setelah ditelusuri lirik asli beserta terjemahannya, ada beberapa, atau bahkan banyak yang mengutarakan perasaan terdalam hati mereka mengenai beratnya hidup, tapi malah dibawakan dengan nada ceria. Itulah kenapa gue sebut "aneh" tadi.

Lalu titik terbesar dari ngedengerin musik-musik Vocaloid ini adalah... Gue ngerasain yang namanya ke Miku Expo di JCC pada tahun 2014. Dan jujur saja, gue (masih) ngerasa nggak percaya gue bisa ada di situ. Maksudnya, gue nggak tahu ya gue dari dulu meng-identify diri gue sebagai wibu sepenuhnya atau wibu ala kadarnya. Gue bisa ada di event itu adalah sesuatu yang terencana (nabung buat beli tiketnya), tapi juga gue jadi bisa mengamati seperti apa sih orang-orang yang demen hal jejepangan ini di dunia nyata. Ya itungannya bukan sekali itu doang sih, mengingat di tahun sebelumnya gue sudah berkunjung ke Anime Festival Asia/AFA Indonesia.

Oh disamping itu juga, pada masa kuliah itu juga gue cukup aktif mendengarkan Depapepe. Ya, duo gitaris akustik asal Jepang dengan musik yang mendamaikan telinga dan hati. Gue agak lupa kenapa gue bisa menyukai Depapepe pada tahun itu, mungkin karena dikopiin bajakannya dari temen, lalu gue lumayan intensif nyari link unduhan bajakannya, dan juga lagu mereka lumayan sering dipake di toko buku Gramedia dari dulu itu. Terlebih fanbase Depapepe di Indonesia juga lumayan besar.

Skip agak jauh, tepatnya di masa kerja awal di 2015, eh, 2016 tepatnya sih, adalah momen dimana meskipun gue udah tidaklah muda (apaan, masih fresh grad juga itungannya), gue masih bisa menemukan musik baru yang klik sama selera pribadi gue. Waktu itu di tempat kerja pertama gue, ada salah seorang coworker yang menyarankan gue dengerin band baru ini, Barasuara, pasti udah pada tahu lah ya Barasuara siapa. Tapi waktu itu gue dipinjemin CD album "Taifun" sama coworker gue. Dan OMG......................................................... Gila lah keren banget band ini waktu mereka masih baru muncul. Gue bukan orang yang dengerin musik rock banget, tapi gue akui gebrakan Barasuara waktu itu keren banget dan klik buat gue.

Lalu, di tahun kerja itulah gue mulai ngerasain yang namanya ngikutin gig, atau kegiatan manggung musisi yang memang digemari, tapi dengan konteks yang... Lokasinya gampang dijangkaulah dari rumah gue. Karena album Barasuara itulah gue ngerasa "ini gue banget, gue mesti ikutin mereka" dan dimulai dari ikutin medsos mereka, dan gue jadi tahu lah kapan aja jadwal mereka manggung. Dan itu adalah perasaan terbaik yang udah lama nggak gue rasakan sejak nonton Linkin Park manggung di GBK tahun 2009 silam.

Lalu, masa yang paling asyik tentunya adalah ketika Spotify mulai on the rise alias bangkit sebagai platform untuk mendengarkan musik secara gratis maupun berbayar. Ya kalo nggak bayar sih, tentunya ada fitur-fitur yang tidak tersedia, terutama untuk menyimpan playlist secara offline, atau bahkan nge-skip ke lagu-lagu berikutnya dalam satu playlist ataupun album. Dari Spotify juga gue mulai nemu musisi/band yang nggak kalah asyik, dan juga bisa ngehapus file-file lagu bajakan yang sudah gue simpan bertahun-tahun karena mereka juga ada di Spotify, bahkan juga yang lagu-lagu tokusatsu. Oh ya lagu tokusatsu mulai rame khususnya di genre kamen rider dan super sentai.

Di Spotify sendiri, gue jadi nemu musisi keren baik dari rekomendasi, berkaitan dengan musisi lain, atau bahkan dalam playlist tertentu yang disusun oleh Spotify maupun pengguna lain. Khususnya di genre instrumental sih, gue nemu buaaanyak banget musisi instrumental dari beberapa genre yang ternyata klik banget juga sama selera gue. Akun Spotify gue bisa dicek di sini. Tapi yang saat ini gue lumayan ikutin adalah band sih, ada namanya City of the Sun, The Comet is ComingGoGo Penguin. dan yang retrowave macam The Midnight.

Seperti yang sudah gue sebutkan di atas, meskipun umur nambah, tidak berarti bahwa genre musik yang kita dengarkan terjebak di genre atau musisi yang itu-itu saja. Gue mencoba menikmati berbagai genre musik, menemukan yang cocok dan nggak cocok, yang cocok langsung lanjut dengerin secara intensif.

Kalo untuk genre sendiri, gue masih kuat di instrumental, lanjut ke post-rock, lalu juga jazz serta retrowave. Untuk gambaran, ini playlist yang gue punya:



Kurang lebihnya begitu, ini merupakan playlist on repeat gue. Dan juga bicara soal playlist, playlist musik itu sendiri memang perkembangan dari mixtape. Ya, dimana kita merekam lagu (dari radio kah?) ke dalam kaset, dan didengerin sendiri di pemutar kaset punya kita, maupun dikasih ke gebetan. Seriously, gue sebenernya nggak paham betul mengenai mixtape, karena era gue bukan pas yang namanya mixtape masih eksis/trending. Melainkan sudah masuk ke musik format digital Mp3. Lebih lanjut soal mixtape bisa didengerin di podcast-nya BKR Brothers di sini.

Mengikuti blog yang sebelumnya pula, sebenernya pembajakan  dalam ranah musik sendiri bisa dibilang bermata dua sih. Memang merugikan musisi dan studio rekaman, tapi juga bisa membantu menyebarkan nama mereka agar karya asli mereka bisa dibeli oleh khalayak ramai, meskipun ujung-ujungnya orang akan tetep menyimpan kopian bajakannya sih for whatever reason.

Meski blog ini tidak disponsori platform musik daring manapun, tapi gue tegaskan bahwa mumpung para platform itu ada, gunakanlah. Maksudnya ya, kenapa nggak? Spotify sekitar Rp 50.000,- sebulan, Apple Music Rp 60.000,- sebulan (tanpa menghitung pajak transaksi produk digital yang akan muncul pada Juli 2020 ini). Bisa lah bayar ini sebulanan. Lebih bagus lagi kalo bisa bayar langsung untuk berapa bulan atau bahkan setahun. Karena gue akui, hidup kita akan membosankan tanpa musik.

Oh yeah, untuk pembaca di sini yang mungkin masih sangat-sangatlah muda, Disc Tarra was the thing. Gue sering banget ke sana kayak mampir ke toko mainan, meskipun nggak selalu beli. Tapi juga mengenai musisi indie juga ya, mereka juga nggak selalu masuk ke toko ini menurut sepemahaman gue; ada di antaranya ya masuk ke toko indie/independen juga. Dan yang mempengaruhi awareness nama musisi-musisi tersebut juga adalah distribusi album fisik mereka, dan seberapa sering mereka ngadain gig/perform/manggung dalam sebulan. Tapi ya sayangnya pada akhir 2015, seluruh toko Disc Tarra sudah tutup secara permanen. Sedih ya.

Tetapi bukan berarti para musisi tidak merilis album fisik lagi. Ada juga studio rekaman yang masih merilis album fisik, tapi dibantu penjualannya melalui suatu waralaba restoran cepat saji; ini kayaknya masih berlangsung sih. Selain itu juga, gue lupa denger musisi indie mana yang ngomong ini, tapi saat ini merilis album secara fisik adalah bagian dari merchandising, bukan produk utama gitu lah, karena album musik sekarang lebih gencar dirilis sebagai format digital di berbagai platform daring itu. Dan album fisik itu, jika memang ada, sekarang dijual melalui toko-toko musik yang lebih kecil; salah dua (halah) contoh tokonya ada di bilangan Jakarta Selatan, tepatnya di Cilandak dan Blok M.

Sebelum blog ini gue akhiri, pada 6 Agustus 2019 lalu, gue berhasil mendapatkan suatu "harta karun" yang gue nggak sangka masih bisa gue dapati setelah hampir genap 13 tahun berlalu.

Dokumentasi pribadi

Ya, album pertama RNRM berjudul Outbox, yang ada lagu Zsa Zsa Zsu di atas. Album ini belum masuk Spotify, mungkin karena mereka belum ngurus dengan studio rekaman terkait. Tapi gue waktu itu bahagia bisa menemukan album ini. Ini merupakan album fisik terakhir yang gue beli sebelum COVID-19 melanda.

Sekian dan selalu jaga kesehatan, eh juga jangan lupa untuk mendengarkan musik setiap hari. It soothes mind.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Blog Akhir Tahun 2022

Film UItraman Blazar Tayang di Jakarta

Ketemu Jodoh dengan Bantuan Aplikasi? Bagian Akhir