Kegelisahan Musik Masa Kini: Fisik, Digital atau Malah Bajakan? Bagian 2



Akhirnya pembahasan musik ini lanjut juga. Lama, dan lumayan melelahkan juga ngetik ginian. Terlebih sekarang kerjaan (kantoran) gue lumayan menyita waktu dan tenaga, sehingga menyempatkan diri untuk melanjutkan postingan ini adalah momen yang tidak selalu ada. Tapi mari kita lanjutkan saja.

Disclaimer (lagi): gue bukan orang yang paham sepenuhnya akan industri musik, jadi ketikan ini isinya akan banyak berangkat dari kegelisahan, opini dan hasil riset kecil-kecilan secara pribadi. Dan juga postingan ini tidak untuk menyerang atau menyinggung pihak-pihak tertentu.

Untuk bagian ke-2 ini, ada hal yang gue rasa perlu gue sampaikan, mumpung judul blog-nya membahas musik fisik, digital atau malah bajakan. Sisi kurang baik lainnya dari mendengarkan musik secara digital streaming, tepatnya yang orang-orang tidak atau kurang sadari pada zaman sekarang ini adalah carbon footprint (jejak karbon) yang dihasilkan. Apa sih carbon footprint atau jejak karbon itu?

Jejak karbon atau carbon footprint adalah jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dalam kegiatan/aktivitas manusia dalam jangka waktu tertentu, baik dalam pembuatan dan penggunaan (konsumsi) dari suatu objek. Dan tentunya, jumlah karbon yang dihasilkan itu memberi dampak buruk ke planet yang kita tempati ini; seperti misalnya timbul cuaca ekstrim, kurangnya pasokan air bersih dan sebagainya. Mendengarkan musik secara digital streaming adalah salah satu penyumbang jejak karbon tersebut.

Musik yang ditampilkan secara daring/online tentunya ditempatkan pada peladen atau server yang dimiliki penyedia musik streaming. Server tersebut tentunya perlu listrik agar tetap hidup, dan juga dingin agar tidak overheat, untuk terhubung ke para pendengar. Kita, para pendengar, perlu menggunakan gawai kita yang terhubung dengan internet untuk mengakses musik tersebut. Internet, butuh listrik; gawai yang digunakan tentu perlu diisi tenaganya dengan listrik; belum lagi jika kita menggunakan speaker ataupun earphone yang wireless, perlu diisi juga tenaganya. Siklus itu semua memerlukan listrik dan tenaga pembangkit listrik yang tidak sedikit.

Lantas, apakah kita harus berhenti mendengarkan musik secara streaming, dan bahkan mengglorifikasi bajakan sekalian? Ya bukan gitu juga.

Gue tidak begitu ingat kapan, dan siapa yang ngomong ini, tapi sosok musisi ini berkata bahwa album fisik itu sudah masuk kategori merchandise, sekarang lebih diprioritaskan rilis dalam format digital streaming terlebih dahulu. Apa yang disampaikan memang ada benarnya, terlebih dengan sejarah pembajakan musik di Indonesia yang tidak ada habisnya. Sehingga digital streaming menjadi solusi mencegah pembajakan, untuk sekarang. Digital streaming legal bisa dianggap lagi 'sexy' nih untuk diolah, dan mengundang target pasarnya yang tentu adalah pengguna ponsel pintar.

Pernah merasakan masa dimana para musisi dapat penghargaan nasional jika albumnya telah terjual dalam jumlah sekian ratus ribu kopi? Itu masa-masa keemasan juga sebenarnya, karena karya mereka laku di pasaran, ada yang beli, ada yang mendengarkan dan menikmati.

Gue sempet menonton video di kanal YouTube musisi lokal (tetapi sudah diubah jadi private videonya) yang merayakan anniversary karier mereka secara annual (tahunan), gue mendapati bahwa penjualan album fisik mereka sempat mengalami penurunan dari tahun A ke tahun B. Meski tidak disebutkan secara detail, ini bisa saja karena mereka hanya menerbitkan jumlah kopian yang tidak banyak, atau ada alasan lain.

Indonesia ini... Mungkin bergerak terlalu cepat ketika ada teknologi yang baru masuk ke kehidupan warganya. Gini sih, iya pembajakan lahir bisa jadi salah satunya karena distribusi karya yang kurang merata ke berbagai daerah, buat beberapa orang juga harganya mahal untuk yang 'gitu doang', dan beragam alasan lainnya. Munculnya digital streaming yang legal itu memang membantu membentuk mindset "mendengarkan karya musik orang lain secara legal", tetapi bukannya tanpa masalah. Seperti yang sudah gue sebut di atas, ya masalah jejak karbon, dan juga pergeseran makna dalam menelurkan karya. Kita dibuat percaya oleh sistem bahwa "cara ini bagus lho!".

Dari hasil penjelajahan gue di intenet, format CD dan kaset adalah yang jejak karbonnya lebih rendah daripada vinyl (piringan hitam) ataupun digital streaming sekalipun. Tetapi jejak karbon tetaplah jejak karbon. Bahan baku, pengolahan bahan baku jadi kepingan CD, mencetak booklet, pengiriman CD yang sudah jadi dari pabrik ke toko; sederhananya sih seperti itu. Pada sisi CD sebagai album fisik itu sendiri, kita menggunakan listrik hanya untuk menyalakan pemutar CD-nya. Kita mendengarkan musik tersebut hanya secara luring/offline. Tidak ada pergerakan siklus energi yang lebih besar lagi.

Di sisi lain, album fisik membuat para pendengarnya tidak terlalu mungkin melewati lagu-lagu yang ada. CD masih mungkin di-skip ke lagu yang disuka, tapi kalau kaset, perlu cara lain yang sedikit repot untuk masuk ke lagu yang disuka. Bahkan, pemilik CD akan cukup menikmati album tersebut sampai membaca isi booklet-nya secara keseluruhan. Intinya, album fisik itu punya value yang besar bagi yang memilikinya.

Musik digital bagaimana? Musik digital memiliki tantangan dan kekurangannya sendiri. Tantangan dari musik digital bisa berupa promosi dan juga kompetisinya. Promosi dan kompetisi artinya harus beradu dengan musisi lain demi mendapatkan exposure, mendapatkan fans/pendengar baru juga bahkan. Disamping itu juga, streaming sendiri memberi bayaran yang kurang seberapa baik, membuat musisi harus aktif mempromosikan lagu-lagu yang ada, baik lead single ataupun lagu lainnya dari satu album agar lagu mereka tetap didengar sampai kapanpun.

Secara spesifik perihal payout atau bayaran, payout yang diberikan oleh jasa streaming itu kurang dari 1 sen per stream, dan payout yang dihasilkan itupun baru terjadi setelah satu lagu didengarkan lebih dari 30 detik. Hal ini membuat para musisi (dan produser) harus memutar otak agar lagu mereka mampu menarik perhatian pendengar setidaknya dalam 30 detik pertama tersebut. Terdengar memaksa para pencipta lagu kah? Sebenarnya ini akan tidak terdengar adil di beberapa sisi untuk mereka para pencipta lagu, namun semua itu kembali ke creative decision masing-masing individu. 

Jadi... Bagaimana? Apakah masih mau lanjut dengan cara streaming?

Lalu, melirik kembali ke postingan sebelumnya pada kegiatan pengarsipan, khususnya jika arsip tersebut sengaja disebarluaskan di internet dalam bentuk apapun meski tidak dengan maksud meraup untung, apakah menyebarluaskan arsip pribadi dari kopian resmi karya orang lain menyelesaikan masalah mendengarkan musik-musik yang hardcopy-nya tidak bisa diperoleh di manapun? Secara hukum sih memang tidak diizinkan cara yang begitu. Memperbanyak, tanpa izin, apapun formatnya, jelas melanggar hukum. 

Terlebih, menyebarluaskan ini, jika terutama hardcopy resmi/legal dari musik tersebut masih bisa didapatkan, berarti membuat roda perekonomian tidak berputar dengan baik pula. Maksudnya begini, beli album fisik atau menggunakan digital streaming (bayar langganan ataupun tidak) berarti menghasilkan pendapatan bagi record label maupun musisinya. Pada sisi aftermarket, berarti perputaran uang terjadi pada kolektor yang menjual koleksi album fisiknya ke orang lain. Meskipun pembajakan bisa memberi exposure ke musisi, tapi nihil dari segi ekonomi.

Lantas, para pengarsip ini harus ngapain? Para penikmatnya juga harus gimana?

Gue, sebagai orang sebenernya berusaha menghindari mengonsumsi konten bajakan, bingung juga harus menanggapinya bagaimana. Karena gini, ada beberapa orang yang menikmati suatu album musik yang sudah diunggah ulang menjadi video di YouTube, berdurasi sepanjang satu album tersebut. Mereka tidak langganan (atau menggunakan secara gratis) musik streaming. Cukup buka YouTube, pasang ekstensi adblocker YouTube (bila perlu) pada peramban internet yang digunakan, dan bisa langsung dengerin satu album itu secara utuh, secara ilegal pula.

Meskipun ada diantaranya musisi-musisi yang tidak keberatan dengan cara begitu; antara musisi yang namanya sudah besar banget, atau musisi indie yang masih cari nama. Ataupun jika suatu channel YouTube (yang punya tanda centang terverifikasi) sudah ada deal tertentu dengan musisi atau label rekaman, sehingga satu atau dua album tersebut boleh diunggah secara utuh dalam format video.

Pembahasan yang panjang ya. Secara spesifik, orang-orang kita ya (tanpa ngomongin orang luar), perlahan-lahan sudah mulai kehilangan rasa mengoleksi suatu hal. Apapun itu. Buku, perangko, album musik, dan banyak lagi. Ada, tapi tidak sebanyak di masa lalu. Adapun teman dan kenalan masih mengoleksi eksyen figur, termasuk gue. Orang-orang pun berhenti mengoleksi ada beragam alasan, seperti misalnya dari segi finansial, allocated space di tempat tinggal untuk memajang koleksi tersebut, dan lain-lain. Melalui postingan ini juga, gue ingin mengajak orang kembali mengoleksi benda fisik, khususnya CD musik. Tanpa terkesan memaksa, teman-teman pembaca bisa memulai dari album yang dulu nggak kebeli waktu masa sekolah atau kuliah, tapi masih bisa didapatkan sekarang; terutama jika album fisik tersebut punya nilai kenangan yang melekat pada kehidupan kalian di masa itu.

Ini menurut gue pribadi dicampur sedikit riset, tetapi kelebihan dari membeli album fisik adalah sebagai berikut:

  1. Kita bisa memegang langsung album tersebut beserta isi-isinya, berkenaan dengan indera peraba.
  2. Harga bersaing, secara spesifik antara CD dengan piringan hitam. Bahkan penggemar juga berusaha menabung demi membeli album fisik tersebut.
  3. Collectible, ada harga jual kembali meskipun kondisinya bervariasi. Masih ada penggemar lain yang menginginkan album tersebut.
  4. Privasi, karena sebenarnya dengan digital streaming, aktivitas kita dilacak banget oleh penyedia digital streaming. Hendak mengingatkan tanpa terkesan menakut-nakuti, tapi dengan revolusi industri 4.0, data (seberapapun pribadi) adalah hal 'sexy' yang diincar korporat-korporat besar.
  5. Kualitas suara album fisik (tergantung versi CD atau piringan hitam) ada kalanya lebih baik daripada digital streaming.
  6. Kita bisa memiliki dan menikmati album fisik tersebut sampai hari tua (daya tahannya >100 tahun)
  7. Berkenaan dengan obscurity, tidak semua rilisan musisi-musisi tertentu ada dalam format digital, khususnya seperti yang sudah gue sebutkan di blog bagian pertama.
  8. Ada pilihan untuk rip CD jadi data digital yang kita pegang, CD pun juga jadi awet. Berkenaan dengan pengarsipan tentu saja, meskipun lagi-lagi bisa condong ke arah pembajakan jika disalahgunakan. Pahamilah tindakan-tindakan kita yang berkenaan dengan hak cipta orang lain dan hukum yang berlaku.
  9. Kita hanya menggunakan listrik saat diperlukan. Maksudnya, jika kita hanya mendengarkan album fisik, kita bisa menyalakan dan mematikan alat pemutarnya sesuai keperluan. Sedangkan streaming, memerlukan sumber energi yang besar agar peladen/server tetap menyala, gawai kita harus diisi ulang baterainya, dll.
Ini adalah hal yang sebenarnya jelas, tapi menambahkan lagu ke library digital dari menggunakan jasa streaming tidak gue anggap sebagai mengoleksi. Gue pakai jasa musik streaming, tapi gue nggak merasa itu mengoleksi lagu. Menurut gue, mengoleksi adalah hal yang sangat pribadi, sehingga orang tidak tahu apa yang kita koleksi, kecuali misalnya kita pamerkan ke media sosial atau dipamerkan langsung. Ya, memelihara kumbang badak Jepang sampai diubah menjadi serangga awetan (ketika kumbang tersebut mati) adalah mengoleksi. Bukan, mengoleksi NFT adalah bukan mengoleksi, dan adalah kegiatan yang non-existent.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Jadilah bertanggungjawab. Bertanggungjawab misalnya kita masih menggunakan jasa streaming musik, Spotify misalnya (baik bayar langganan maupun tidak), tetapi kita masih membeli album fisiknya juga sebagai bahan koleksi. Tetapi gue tidak memaksakan juga jika para pembaca sekalian tidak berminat; tetapi jika kalian mau membuat perubahan, let's go

Masih banyak hal lain yang bisa dikoleksi, tetapi NFT bukan salah satunya.

Referensi penulisan/bacaan lainnya:

Sumber 1

Sumber 2

Sumber 3

Sumber 4

Sumber 5

Sumber 6

Sumber 7

Sumber 8

Sumber 9

Sumber 10

Dan masih banyak lagi.

Terima kasih sudah menunggu blog ini terbit (emang ada yang nunggu?). Meskipun terbitnya akhir tahun banget, yang penting ada sambungannya lah dari yang lalu. Sampai jumpa di postingan lainnya di 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Blog Akhir Tahun 2022

Film UItraman Blazar Tayang di Jakarta

Ketemu Jodoh dengan Bantuan Aplikasi? Bagian Akhir