Psikologi Warna? Itu Istilah Beneran Ada!


Internet nggak pernah ada damai-damainya banget yak. 

Di suatu maalam menjelang tidur (6/11), gue lagi menjelajah Twitter sedikit agar lebih ngantuk. Tak diduga gue menemukan sebuah cuitan yang jujur aja membuat lulusan DKV seperti gue pun terpelatuk. Potongan gambar tersebut bisa dilihat di bawah ini:


Kedua potongan gambar adalah dari 6 November 2020

Nama disamarkan dan silakan cari sendiri siapa yang bikin cuitan aneh tersebut. Konteks tambahan: beliau adalah seniman profesional yang terlibat dalam pembuatan suatu film animasi yang baru saja dirilis di platform Netflix. Akunnya pun sudah dapat centang biru. Namun beliau bisa membuat cuitan seperti ini rasanya membuat kuliah gue 4,5 tahun tambah super mega ekstra sia-sia.

Aneh bukan?

Bagi pembaca yang merupakan sesama insan kreatif, khususnya yang bukan merupakan lulusan seni maupun desain, gue cuma bisa memohon kepada kalian untuk tidak menelan cuitan tersebut mentah-mentah. Tapi bukan berarti juga kalian boleh menelan mentah-mentah isi blog ini. Baca, lalu renungkan.

Teori warna, yang di dalamnya mengandung topik mengenai psikologi warna, adalah benar-benar ada, dan wajib dipelajari bagi mereka yang menempuh perkuliahan seni maupun desain. Bagi yang bukan lulusan seni maupun desain, ya blog ini buat mengenal atau memahami sedikit soal itu, nggak usah gue kupas banyak-banyak dulu lah.


Teori warna itu apa sih?

Berdasarkan situs Desainerhub, dinyatakan bahwa teori warna adalah "ilmu dan seni dalam menggunakan warna". Dengan kata lain, menggunakan warna itu tentunya tidak sembarangan dalam kegiatan seni dan desain. Semua ada pembelajaran teori beserta praktik penggunaannya agar menghasilkan suatu karya seni visual maupun desain yang bisa diterima khalayak ramai, serta secara tidak langsung menghasilkan suatu kesepakatan bersama mengenai karya yang dilihat.

Dasar teori warna bisa dipelajari melalui sebuah benda lucu ini, namanya cakram warna atau color wheel. Benda ini beneran ada jika kalian memang bertanya-tanya.

Cakra warna atau colour wheel. Milik pribadi


Lantas apa yang dipermasalahkan?

Sebelum gue ketik lebih lanjut, postingan blog ini bisa dianggap sebagai counter dari cuitan-cuitan beliau.

Berdasarkan potongan gambar di atas, pernyataan tersebut adalah tidak benar, serta cenderung bersifat paradoks. Karena sebenarnya yang beliau sebutkan memang konteksnya adalah psikologi warna. Psikologi warna justru yang membantu dalam memberi konteks dalam karya visual apapun yang dibuat. Sebagaimanapun kalian membuat suatu karya, baik dipikirkan secara matang maupun tidak, jikalau sudah masuk dalam pemberian warna gue cukup yakin pikiran terdalam kalian sudah memikirkan "ah gue pake warna ini ah" meskipun alasannya tidak mendasar. Seperti misalnya hanya sebatas kontras sekalipun, kalian tentunya melakukan aktivitas yang namanya "berpikir" meskipun dalam waktu singkat. Cogito, ergo sum.

Oh iya, psikologi warna, menurut epsikologi.com, adalah "cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari tentang warna sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku manusia". Artinya, perilaku kita sebagai manusia dapat diwakilkan dalam bentuk warna; demikian pula dalam pengerjaan karya seni maupun desain.

Psikologi warna juga sangat berpengaruh dalam marketing dan branding/merek. Orang marketing setidaknya harus memiliki pemahaman bedanya penggunaan warna dalam media cetak maupun elektronik (mode warna CMYK untuk cetak fisik dan RGB untuk tampilan digital), harus paham juga target audience-nya, harus paham juga pesan yang mau disampaikan, dan masih banyak lagi. Dalam hal branding pun, penggunaan psikologi warna khususnya adalah dalam merancang logo usaha/bisnis. Kenapa Samsung warna logonya biru, Toyota campuran perak dan merah, British Petroleum hijau, dan lain-lain. Makanya ada studi Desain Komunikasi Visual adalah sebagai problem-solver dalam urusan branding dan marketing, karena pendiri perusahaan itu belum tentu selalu paham maunya apa untuk kebutuhan visual perusahaannya bagaimana.

Terlebih, pendukung psikologi warna adalah studi semiotika. Semiotika, menurut serupa.id, adalah "disiplin ilmu yang menelaah tanda (termasuk pengertian simbol, indeks, ikon) dan karya seni merupakan komposisi tanda baik secara verbal maupun non-verbal". Dengan kata lain, semiotika membantu kita, manusia, belajar memaknai beragam bentuk tanda, bahkan dalam karya seni sekalipun. Seni dan desain tentunya membutuhkan studi semiotika. Tanpa semiotika, apapun yang kalian buat (dalam bidang seni maupun desain), audience bisa memaknai karya kalian makin belok dari yang awalnya sudah belok dari pemahaman kalian pribadi saat proses pembuatan.

Gue mempelajari dua (atau tepatnya tiga) hal tersebut sudah hampir 10 tahun yang lalu ketika kuliah. Saat mengetik ini, gue menganggap diri gue sudah lupa banyak hal yang gue pelajari dulu itu. Tapi hal-hal seperti ini bisa dicari lagi via Google. Nothing's ever really lost alright. Bahkan gue bersedia berbagi ilmu tentang dasar-dasarnya teori dan psikologi warna, serta semiotika. Namun gue akui semiotika itu lebih ribet karena banyak istilah-istilah ajaib seperti penanda, petanda, simbol, ikon, indeks. Those nice years of studies.

Buat yang bertanya-tanya apa gunanya studi seperti ini, sederhananya kalian bertanyalah pada diri sendiri "kenapa logo McDonalds's, KFC, dan HokBen mengandung warna merah ataupun kuning, sedangkan Taci Bell menggunakan warna ungu?" Gue tidak perlu menjawab di sini, karena bisa ditafsirkan dengan banyak makna, dan juga kembali ke pemahaman kalian sendiri. Yang bukan lulusan seni/desain pun juga boleh bertanya akan hal ini kepada diri sendiri, demi pembelajaran.


Konteksnya dalam dunia film dan animasi (serta penafsiran cuitan)

Seperti yang gue sebutkan di atas, yang membuat cuitan tersebut adalah seseorang yang bekerja di bidang film dan animasi. Namun bidang tersebut juga membutuhkan pemahaman teori warna yang tidak sembarangan. Karena film dan animasi itu berperan sebagai medium untuk bercerita, staf produksi yang ada di dalamnya diharuskan memiliki kemampuan menerjemahkan cerita ataupun teks (khususnya brief pekerjaan) menjadi visual, secara spesifik yaitu narasi visual yang bergerak.

Salah satu kalimat cuitannya berbunyi "Colors are assigned meaning based on their context." "Their" di sini secara spesifik ditujukan pada desain karakter yang dibuat, sedangkan "context" adalah konteks desain karakternya, bisa berupa anak kecil atau orang dewasa, pria, wanita, maupun non-binary, berperan baik atau jahat, perilaku, pekerjaannya, dan masih banyak lagi. 

"You as a designer can choose what colors mean based on the rules of your story/design" nah pada bagian ini sebenarnya masih mengacu ke konteks di desain karakter tersebut, seperti paragraf atas. Dan kembali lagi ke studi psikologi warna, dengan memahami teori-teori ribet kayak gini adalah demi kalian bisa melahirkan, memberi konteks ke universe cerita yang kalian bangun beserta isi-isinya. Ya kalian bisa saja sih, bikin komik webtoon misalkan, bebas banget sesuai kehendak kalian tanpa ngikutin studi yang ada, namun pembaca akan menilai lain "ini kita baca komik apa deh?". Kalaupun memang tidak menempuh jalur studi terkait, studi otodidak kalian harus yang benar-benar bermanfaat.

Semiotika melengkapi proses perancangan suatu karakter untuk kebutuhan film dan animasi. Warna dilihat sebagai tanda. Garis dan bentuk juga bisa dilihat sebagai tanda, bukan hanya estetika dari penciptanya saja; meskipun tidak selalu juga penciptanya punya alasan-alasan mendalam saat mereka menciptakan desain karakter untuk universe penceritaan tersebut.

Jika ngeliat balik ke cuitannya sih, gue menganggap orang ini mungkin saja merasa bahwa color grading dalam film tuh bahkan nggak ada. Padahal color grading dalam film itu membantu untuk membangun atmosfer penceritaan. Kan nggak mungkin ya kita nonton film (yang live action), tapi warna filmnya hanya ngikutin warna dan pencahayaan asli lokasi syuting. Itu mentah banget dan nggak layak untuk ditayangkan ke khalayak ramai.

Gue ulangi sekali lagi, ketiga cuitan yang beliau buat itu sungguh suatu paradoks. Sesuatu yang berlawanan padahal dari satu kesatuan studi yang fundamental, dan esensial. Konteks karya terlahir dari pembelajaran ketiga hal tersebut. Tapi beliau tidak mau menyebut konteks lahir dari pembelajaran psikologi warna itu aneh banget. Karena gue pun melihat film maupun serial animasi sekarang makin lama makin menjadi salah satu bentuk media marketing juga. Contoh paling ketara saat ini adalah serial animasi Transformers

Transformers awalnya lahir sebagai lini mainan yang diimpor oleh Hasbro dari Takara, dari Jepang ke Amerika Serikat, dan dari Diaclone diubah menjadi Transformers. Cara menjualnya bagaimana? Dibuatlah komik, lalu berlanjut menjadi serial animasi pada televisi Amerika Serikat. Maka, dengan komik dan serial animasi itulah Hasbro memasarkan Transformers pada warga Amerika, dari dulu hingga sekarang. Meski tokoh-tokohnya memiliki beragam warna dan bentuk, tetapi harus bisa dipisahkan mana yang pihak Autobot dan yang Decepticon.

Perbedaan warna, garis, dan bentuk pada Megatron (kiri) dan Optimus Prime (kanan) dalam versi film Michael Bay. Sumber: ComicVine

Megatron (kiri) dan Optimus (kanan) dalam salah satu episode serial animasi The Transformers pada tahun 1984. Memiliki body type kotak/cuboid, yang membedakan mereka adalah warna. Sumber: tfwiki.net

--

Jadi sebenarnya tidak ada istilah "psikologi warna tidaklah nyata". Studi seperti ini ada bukan untuk menghalangi atau merepotkan kalian dalam berkarya, melainkan untuk membuat kalian lebih berhati-hati, namun sekaligus memberi nyawa dalam berkarya. Imajinasi boleh luas, tetapi studi seperti ini membantu kalian mengambil keputusan berkarya. Meskipun sebenarnya kembali ke keputusan masing-masing, tapi gue mohon untuk tidak melupakan teori-teori dasar seperti ini, khususnya bagi kalian yang memang menempuh jalur pendidikan seni maupun desain.

Gue yang portofolio seni/desain nggak kuat aja bisa kok memahami teori warna beserta psikologinya, malah itu mata kuliah fundamental juga. Gue dulu cukup senang belajar teori warna meskipun tugas-tugasnya ya... Ribet, tapi demi pembelajaran juga ya mau gimana lagi. Kuliah masih dibayarin ortu, ya gue sebagai anak tunggal harus menjalankan; gue nggak mau bikin ortu gue rugi. Eh curhat. Tapi ya begitulah.


Bagi kalian yang bukan lulusan seni maupun desain

Ya, blog ini selain gue ketik untuk meng-counter cuitan yang ada di atas tadi, gue juga sekalian pengen berbagi hal ini ke teman-teman (dan pembaca lainnya) yang bukan lulusan seni/desain, tapi punya minat berkarya yang besar di dunia seni/desain. Kalian tidak mengerti istilah-istilah khusus dalam postingan ini pun ya tidak apa-apa. Lagipula semacam udah lama pengen ngetik ini, tapi baru terealisasi via Blogger di tahun ini.

Kalian tidak direstui atau dikasih masuk universitas yang punya jurusan seni/desain itu nggak apa-apa. Kalian juga, maaf, bukan anomali di semesta ini dengan memiliki minat di seni atau desain. Lebih tepatnya kalian itu hebat punya minat dan bakat di bidang seni atau desain meskipun tidak menempuh jalur pendidikan yang sesuai. Belajar sendiri alias otodidak pun nggak masalah, yang penting kalian bisa menemukan sumber belajar yang sah dan/atau terpercaya di luasnya internet ini.

Terlebih diantara kalian pasti ada yang buka commission/jasa ilustrasi desain karakter untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Menjadi ilustrator (tanpa latar belakang pendidikan) seni) yang dibayar klien pun adalah menjadi problem-solver juga. Klien memiliki ide-ide yang tidak tangible, namun kalian yang dipekerjakan itulah yang harus mampu mewujudkan ide klien menjadi visual seperti keinginannya.

--

Bagi teman-teman pembaca yang memiliki kekurangan dalam melihat warna, namun aktif dalam berkarya seni maupun desain, postingan ini adalah tidak untuk men-discredit-kan kalian. Kalian juga keren masih bisa berkarya dengan kekurangan kalian.

-- 

Akhir kata, bagi sesama insan kreatif seni visual maupun desain, tetaplah berkarya, dan tetaplah belajar.

Sampai jumpa di postingan berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Blog Akhir Tahun 2022

Film UItraman Blazar Tayang di Jakarta

Ketemu Jodoh dengan Bantuan Aplikasi? Bagian Akhir