Gue Sebagai Orang yang Kurang Membaca Buku Novel
"Baca Novel" karya pribadi
Percaya deh, dulu waktu kecil gue nganggep baca novel itu cupu abis. Buku komik itu superior. Apaan itu baca HarPot? Doraemon lah! Viva buku cerita bergambar!
Tapi ternyata hal itu nggak berlangsung lama.
Gimana ya, dari kecil gue suka dibeliin buku komik, ya terutama Doraemon, Paman Gober serta Donal Bebek. Sewaktu ketika di awal 2000-an,Harry Potter mulai booming sebagai film, lalu diikuti novelnya juga diterjemahkan dan dijual di sini, gue nggak ada minat untuk ikutan fandom-nya. Gue ngerasa hiburan visual itu nomer 1 melebihi segalanya (meskipun gue nggak nonton HarPot karena alasan tertentu).
Yes, yes I know bahwa novel itu bukan semata-mata Harry Potter saja. Tapi di masa itu, novel yang kurang lebihnya child-friendly adalah Harry Potter yang gue inget. Di samping beberapa dekade sebelumnya ada novel terjemahan juga berjudul The Famous Five, atau yang lebih dikenal di sini dengan nama Lima Sekawan.
Gue dulu ngeliat novel itu murni sebagai wall of words yang membosankan, tanpa peduliin ceritanya gimana, tata bahasanya, dan lain-lain. Intinya waktu itu gue ngerasa baca novel itu beneran cupu abis. Meskipun pada titik ini waktu dulu, gue sedikit menyukai baca koran. Kayak bapak-bapak banget ya. Tapi koran tu tetep perlu ada sih meskipun sekarang zaman sudah bergerak terlalu cepat, dan juga meskipun ada kecenderungan mengandalkan clickbait pada versi situs berita dari koran yang bersangkutan.
Melewati beberapa tahun, gue mulai baca novel itu kalo nggak salah pada saat gue SMA. Tapi gue memulainya dengan buku yang amat sederhana, yaitu adaptasi novel dari film Transformers tahun 2007 yang ditulis oleh Alan Dean Foster. Tapi gue ngebaca buku yang itu sekitar setahun setelahnya kalo nggak salah? Gue lupa sih. Itu adalah novel berbahasa Inggris, gue lupa belinya di mana, gue juga nggak tau gue masih simpen atau nggak. Bukan buku berat kayak gimana, tapi cuman adaptasi film yang notabene visual-heavy, menjadi sebuah dinding kata-kata yang panjang.
Sumber gambar: TFWiki
Dari situ secara pelan-pelan sekali mulai nambah buku. Tapi gue inget dua buku novel yang gue baca itu bukan judul yang berdiri sendiri, namun merupakan adaptasi dari waralaba besar buatan studio game Blizzard. Ya, World of Warcraft dan StarCraft.
Sumber gambar: Amazon.com
Sumber gambar: Goodreads
World of Warcraft itu gua punya yang Arthas: Rise of the Lich King, yang ditulis oleh Christie Golden. Dan isinya beneran fokus soal perkembangan Arthas yang nggak diceritain di game Warcraft III, baik masa kecilnya maupun romansa bersama Jaina Proudmoore. Wah gila deh apa yang dulu gue mainin di game, tertulis dengan lebih luas lagi di versi novel itu. Tapi pas udah paham Arthas jadi Lich King, rasanya gimana gitu dia harus jadi jahat.
Perihal soal baca buku novel ini masih lebih gampang gue ngejelasinnya daripada gue ngejelasin sejarah gue main game di blog sebelumnya. Ya karena gue ngerintisnya bener-bener kecil, genrenya sempit pula. Oh ya, ngomong-ngomong soal genre, gue masih berkutat di sekitar sci-fi sih, belom terlalu masuk ke genre fantasy sama sekali (di luar novel Warcraft yangn tadi).
Nah, makin gue ngebaca genre sci-fi, akhirnya secara bertahap gue sampailah di nama-nama penulis besar seperti H.P. Lovecraft, H.G. Wells... Kenapa gue akhirnya menyasar ke penulis-penulis ini adalah karena gue perlu mempelajari juga kayak apa sih karya novel sci-fi di masa lalu, dan seperti apa gaya penulisannya. Eh, H.P. Lovecraft juag ceritanya masuk ke genre sci-fi kan?
Apakah gue baca buku novel cuma karena pengen keliatan keren semata? Ya tadinya sih gitu, hahaha. Tapi nggak juga sih, tepatnya. Gue baca novel tu selain karena pengen makan omongan sendiri pas kecil, gue butuh mengasah imajinasi gue.
Ya, membaca novel itu sebenernya adalah mengasah imajinasi dalam membayangkan teks yang dibaca di dalam buku itu. Kesalahan gue dari keseringan baca buku komik adalah gue jadi semacam dimanjain dengan visual yang kaya. Nggak salah sih sebenernya dengan baca buku komik, sebagai referensi visual. Namun lebih baik lagi kalo kita bisa ngimbangin antara baca buku bergambar (komik dsb) dengan baca tulisan murni. Kayak yang sempet gue bahas di atas, gue suka baca koran, meskipunn itu teks semua dan bahasanya menggunakan bahasa jurnalistik.
Gue tahu sih nggak semua orang suka baca buku komik maupun novel, atau buku yang banyak gambar dan yang banyak teks. Tapi lebih baik lagi jika kita bisa mengimbangi semua itu. Jadi kayak nggak melulu stuck di genre itu juga, eksplorasi ke genre lain juga perlu. Sesuka-sukanya gue sama genre sci-fi misalkan, gue juga perlu sesekali menikmati yang genrenya drama komedi, maupun horor. Ya kurang lebih kayak gitulah.
Gue sekarang lagi baca buku The Mammoth Book of Kaiju, sebuah buku yang berisi kumpulan cerpen tentang monster raksasa atau kaiju/daikaiju yang disusun oleh Sean Wallace. Gue dapet buku ini di sebuah bazaar buku kenamaan dan harganya diskon juga. Ya, bukunya tebal banget (hence the "mammoth" on the title), tapi sejauh ini gue lumayan seneng sih ngebacanya karena ada beberapa judul yang penyampaiannya oke banget.
Sekian untuk blog kali ini, isinya ternyata nggak ribet ya. Tapi ya gitulah, cuman sekadar ingin menyampaikan hal-hal terkait soal baca buku, di tengah merosotnya minat baca di sini karena beberapa hal. Sampai jumpa di postingan mendatang.
Komentar
Posting Komentar