Ketemu Jodoh dengan Bantuan Aplikasi? Bagian 1
Kenapa tidak?
Sebelum lanjut membaca, konten ini lebih diperuntukkan bagi mereka yang berusia 18+. Please read responsibly.
Suka sama suka, cinta, dan kasih sayang. Gue ngerasa semua manusia memiliki rasa itu terhadap siapapun. Baik itu ke lawan jenis, sesama jenis, beda umur, bahkan sampai beda dimensi pun juga ada; dan ya se-pengetahuan gue, ada pro dan kontra terhadap penyampaian rasa cinta atau kasih sayang itu.
Tapi pernah nggak sih kalian kepikiran make aplikasi di gawai kalian untuk menemukan jodoh atau belahan jiwa? Gue kebetulan orang yang make aplikasi demi mencoba peruntungan dalam mencari jodoh, dan berhasil. Tapi ini gue ceritain entar aja, gue jabarkan dulu apa sih sebenernya aplikasi kencan atau jodoh itu, dan gimana cara-caranya.
Aplikasi kenamaan yang gue tahu ada Tinder, OKCupid, Bumble dan Coffee Meets Bagel. Tapi FYI aja nih, ada yang spesifik kayak Grindr dan Blued, yang dua nama ini silakan cari sendiri fungsi khususnya buat apa, daripada gue salah tafsir.
Apa aja sih hal-hal yang bikin orang make aplikasi buat nyari jodoh, atau mungkin sekedar nyari temen ngopi? Tapi sebelumnya, gue akan kasih contoh menarik versi awal mencari jodoh secara acak/random atau berkenalan dengan perantara/comblang.
Era "Kontak" Harian Kompas
Gue baru inget banget waktu lagi nyusun draft blog ini, ada salah satu bentuk perjodohan yang dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui koran nasional. Koran nasional yang gue maksud ini adalah Kompas; tepatnya dulu sekali mereka punya rubrik Kontak, yang kalau gue nggak salah inget, muncul di setiap edisi hari Minggu. Kenapa gue ingetnya hari Minggu? Karena halaman TTS Kompas hanya muncul setiap hari Minggu.
Berdasarkan beberapa sumber yang gue peroleh, rubrik Kontak (atau Pertemuan) disediakan bagi mereka yang merasa terdesak usia tetapi belum menikah. Patokan usia minimal bagi para pendaftar adalah 30 tahun untuk laki-laki, dan 27 tahun untuk perempuan, boleh bagi yang masih lajang maupun duda/janda. Gue inget waktu kecil dulu ngebaca rubrik ini masih ngerasa "apaan sih ini?" Sampai lambat laun ketika gue SMP atau SMA gitu, gue sadar "ohh ini ya fungsinya," dan percayalah, pendaftar yang masuk Kontak itu umurnya tua-tua, bisa dibilang banyak yang berada di atas usia 35 tahun.
Namun yang sangat terlambat gue sadari yakni rubrik ini ditutup pada awal Januari 2015 karena sudah masuk era digital dan jodoh bisa dicari/ditemukan secara daring; sedangkan gue inget untuk ngetik bagian ini adalah baru beberapa hari yang lalu. Terlambat 5 tahun untuk mengingat? Ya begitulah, namanya juga sudah tua hahahahaha.
Era Kantor Biro Jodoh
Secara mengejutkan gue perlu memasukkan ini juga ke blog ini, meski nggak akan detil banget. Selain buat panjang-panjangin isi blog ini, kantor biro jodoh itu beneran ada di Jakarta.
Bernama Yayasan Scorpio, atau biasa disingkat Yasco, secara resmi berdiri pada 11 Mei 1974. Dahulu beralamat di Jl. Pramuka di Jakarta Timur, namun sekarang (sepertinya masih beroperasi) di Jl, Kramat Lontar di Jakarta Pusat. Kalian bisa cari di Google namanya, dan akan muncul juga di Google Maps.
Yasco didirikan oleh mendiang Subky Hasbie. Beliau mendirikan Yasco ketika menjadi Ketua Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa Indonesia. Bahkan nama asli Yasco adalah Yakmi Service Corporation. Kenapa berganti menjadi Yayasan Scorpio juga karena kebetulan zodiak alm. Subky Hasbie adalah Scorpio.
Selebihnya bisa kalian cari sendiri atau bisa dibaca menggunakan sejumlah pranala yang gue letakkan di akhir postingan blog ini.
Baiklah, sekarang kita masuk ke era digital.
Era Digital
Era digital ini jujur aja bisa luas banget pembahasannya yah. Terutama dari awal 2000-an itu mulai bermunculan situs-situs kencan daring, penggunaan program/aplikasi ngobrol daring (dalam hal ini, Yahoo! Messenger dan mIRC), surat elektronik dan banyak lagi yang lainnya. Sedikit pertanyaan lucu: ada yang pernah klik iklan kencan online dari situs video porno nggak? Hahahaha. Kepo ama situsnya tapi ngeri kalau itu ternyata spam atau virus.
Oke, bagian ini akan gue persempit ke aplikasi yang ada di ponsel genggam, dan media sosial. Gue lebih fasih di bagian ini karena masih lumayan baru juga mengalaminya.
Era Digital: Aplikasi Ponsel Pintar: Tinder
Ponsel pintar, atau yang biasa kita sebut secara sok English sebagai smartphone, merupakan alat yang sudah pasti kita punya di tahun 2020 ini. Berbagai aplikasi juga tersedia di toko aplikasi (tergantung OS ponsel pintar kalian), salah satu tipenya adalah bersosial/sosialisasi. Ya, aplikasi kencan daring ini masuk dalam tipe sosial. Yeah, you go on a date, you socialize with other people.
Aplikasi yang sudah lumayan punya nama, seperti yang gue sebutkan di paragraf pembuka, ada Tinder, OKCupid, Coffee Meets Bagel, Bumble dan masih banyak lagi. Tapi yang akan gue sebutkan hanya yang pernah gue pake saja.
Tinder merupakan aplikasi yang paling umum. Tinder penggunaannya gampang banget, cukup isi profil (bio), mengunggah foto diri (maksimal sekitar 9 foto kalau nggak salah), pasang preferensi kalian (carinya pria atau wanita, dan di umur berapa), pasang juga radius pencarian, lalu mulai proses swiping atau menggeser.
Ya, menggeser foto-foto pengguna lain. Jika merasa cocok ya geser kanan untuk like, lalu geser kiri jika rasanya orang tersebut bukan kriteria yang diinginkan alias dislike. Nah selebihnya ngapain? Nunggu orang yang kita geser kanan untuk menggeser kanan profil kita juga sampai match atau cocok. Kalau sudah sama-sama match, di sini kita bisa mulai bertukar DM alias ngobrol via pesan pribadi.
Penggunaan Tinder selain untuk mencari jodoh atau teman kencan (atau bahkan hanya sekedar teman biasa) adalah untuk pass the time, atau membunuh waktu. Hal ini dianggap demikian karena mungkin dalam sehari kita sudah cek Facebook, Instagram, Twitter (dan Path? Hahaha), tapi rasanya masih ada yang kurang, eh ternyata Tinder belum dicek.
Batasan menggeser profil di Tinder adalah 100 kali dalam sehari, hal ini diterapkan agar kita sebagai pengguna benar-benar memeriksa tiap profil mereka ketimbang hanya sekedar nge-swipe. Anggapan lainnya juga adalah agar kita tidak membuka Tinder terus-terusan, khususnya pada saat jam kuliah atau jam kerja. Oh ya, penggunaan Tinder ini juga dibatasi untuk usia 18 tahun ke atas.
Info tambahan juga nih, Tinder ini meskipun aplikasi gratis, lebih tepatnya juga aplikasi freemium. Tinder menyediakan opsi untuk berlangganan secara bulanan, kalau nggak salah dimulai dari sekitar Rp 90.000-an IIRC. Apa saja sih yang didapat dari berbayar itu? Jumlah swipe yang tidak terbatas, serta super like berapa kali gitu dalam seminggu atau sebulan.
Super like? Oh iya super like itu fungsinya untuk memberi notifikasi pada profil yang kita suka banget. Jadi pengguna di seberang sana akan dapat notifikasi super like, dan selanjutnya ya tergantung orang tersebut mau like balik atau tidak. Bener-bener gambling banget ya peluangnya hahaha. Lalu selebihnya kalau kita nggak bayar, kita baru bisa menggeser-geser ke kanan lagi dalam 24 jam berikutnya, nunggu di-refresh gitu, jadinya cuman bisa geser kiri alias dislike.
Fakta lainnya dari penggunaan Tinder ini, tepatnya dari suatu laman Facebook yang ternyata sudah nggak aktif (jadinya nggak bisa gue kasih pranalanya di sini), adalah Tinder di luar Indonesia lebih digunakan untuk mencari pasangan hookup, one night stand, kencan dengan orang asing yang baru dikenal banget yang ditutup dengan hubungan seksual di hari itu. Nah gue nggak tau penggunaan Tinder di sini ada kecenderungan ke arah sini atau nggak, tapi ya Tinder, logonya api, memercik suatu hubungan baru, baik beneran jadi serius maupun hanya sebatas fuck buddy/casual sex.
Pengalaman Gue Menggunakan Tinder
Gue make Tinder itu beneran gambling gile sih. Gue waktu itu abis putus di sekitar quarter terakhir 2018, nyari-nyari aja mungkin ada yang nyantol. Dan gue beneran bayar, karena gue seringkali di kantor lumayan gabut, dan kantor gue berada di Jakarta Selatan, serta lumayan deket Kemang yang bisa dibilang salah satu prime location lah di Jaksel.
Terus gue dapet nggak? Dapetnya malah melalui kenalan di Instagram hahahaha. Nah bio pengguna cewek (gue nyarinya cewek karena memang gue masih heteroseksual) yang gue geser ini didn't tell much seinget gue, tapi ada username Instagram-nya. Gue waktu itu geser kanan nggak kunjung match, orangnya cakep sih karena gue udah sempet kunjungin (alias stalking ayyy) laman Instagram-nya, jadi ya gue DM aja kenalan di Instagram.
Ujungnya gimana? Cuman pedekate 3 bulanan dan nggak lanjut hahaha. Tapi juga gue semacam bersyukur sih nggak lanjut, ada alasannya tapi nggak perlu gue bilang di sini.
Oh ini tambahan sekaligus penutup bagian ini sih. Berdasarkan pengalaman gue pake Tinder, banyak banget pengguna cewek yang ngisi bio-nya nggak detil. Entah itu jual mahal atau emang nggak ngerti aja pake Tinder hahaha. Udah gitu juga yang cakep banget jarang lagi (maaf ya gue orangnya visual banget), banyakan mbak-mbak nyoba peruntungan. Hal semacam ini juga sempat disebut sama podcast BKR Brothers di sini.
Era Digital: Aplikasi Ponsel Pintar: OKCupid
Nah akhirnya tiba juga di bagian favorit gue, yakni menggunakan OKCupid (atau OKC). OKCupid ini tentunya sejenis dengan Tinder, eh lebih tepatnya emang satu perusahaan di bawah nama Match Group. Tetapi secara penggunaannya lebih enak. Lebih enak gimana? Banyak kayaknya, gue jelasin di paragraf berikutnya.
OKCupid ini dimulai dengan mengisi bio, yang ternyata lumayan detil; nama, tinggi badan, agama, preferensi seksual, lajang atau tidak, mencari pasangan untuk ngapain aja, nyari pasangan yang kayak gimana dengan preferensi di bio kita. Intinya, dari tahapan awal ini aja udah detil banget deh. Lalu dilanjutkan dengan menjawab question alias pertanyaan-pertanyaan unik yang disediakan oleh OKCupid yang nge-define kepribadian kita jika dilihat oleh pengguna lain. Oh ya, mengunggah foto juga tetap ada karena memang fitur wajib, tapi lupa bisa sampai berapa foto.
Gunanya apa sih sampai sedetil itu? Tujuannya agar pencarian jodoh (atau sebatas teman) kita dibantu oleh algoritmanya OKCupid, meski nggak selalu tepat sasaran juga sih, karena ujung-ujungnya bergantung sama radius pencarian.
Selebihnya OKCupid ini sama seperti Tinder, geser kiri dan kanan, bedanya sih se-pengalaman gue, jumlah geser/swipe-nya nggak dibatasi. Namun setidaknya di OKCupid terkurasi lebih baik, dan kita juga bisa ngelihat persentase kecocokan kita dengan pengguna yang kita cari; meski lagi-lagi ini nggak selamanya tepat sasaran karena ada juga pengguna yang malas mengisi bio-nya atau sok jual mahal hahaha.
Pengalaman Gue Menggunakan OKCupid
Gue menggunakan OKCupid ini karena semacam disarankan oleh kakak sepupu gue. Gue ngelihat sih aplikasinya lebih well-made daripada Tinder, yang menurut gue isinya acak serta nggak tersaring banget.
Oke, gue pernah kenalan ama seorang cewek lulusan arsitektur suatu universitas di Bandung, tapi gue lupa kenalan di OKC atau Tinder. Kemungkinan besar sih di OKC dulu, tapi lanjut di Instagram. Pernah ketemu sekali, gue ajak nongkrong dan gue anter balik. Itu cewek cakep, tapi somewhat gue ngerasa bahwa gue tu out of league banget buat dia. Nggak gue terusin sebagai pedekate sih, tapi gue kadang-kadang masih balesin story dia di Instagram, nggak lebih. Nggak, beda sama berharap, gue udah punya pacar sendiri dan ini lebih kayak biar nggak asing-asing banget.
Pengen sih gue lanjutin ceritanya, tapi gue akhiri dulu sementara di sini, dan akan bersambung ke bagian 2 karena masih ada yang perlu gue jelasin lebih banyak lagi sampai dengan gue ketemu pacar gue yang sekarang.
Pranala luar:
Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3
Sumber 4
Sumber 5
Sumber 6
Sumber 7
Edan banget lah ini seru banget risetnya hahaha.
Sebelum lanjut membaca, konten ini lebih diperuntukkan bagi mereka yang berusia 18+. Please read responsibly.
"Kencan Daring", karya pribadi
Suka sama suka, cinta, dan kasih sayang. Gue ngerasa semua manusia memiliki rasa itu terhadap siapapun. Baik itu ke lawan jenis, sesama jenis, beda umur, bahkan sampai beda dimensi pun juga ada; dan ya se-pengetahuan gue, ada pro dan kontra terhadap penyampaian rasa cinta atau kasih sayang itu.
Tapi pernah nggak sih kalian kepikiran make aplikasi di gawai kalian untuk menemukan jodoh atau belahan jiwa? Gue kebetulan orang yang make aplikasi demi mencoba peruntungan dalam mencari jodoh, dan berhasil. Tapi ini gue ceritain entar aja, gue jabarkan dulu apa sih sebenernya aplikasi kencan atau jodoh itu, dan gimana cara-caranya.
Aplikasi kenamaan yang gue tahu ada Tinder, OKCupid, Bumble dan Coffee Meets Bagel. Tapi FYI aja nih, ada yang spesifik kayak Grindr dan Blued, yang dua nama ini silakan cari sendiri fungsi khususnya buat apa, daripada gue salah tafsir.
Apa aja sih hal-hal yang bikin orang make aplikasi buat nyari jodoh, atau mungkin sekedar nyari temen ngopi? Tapi sebelumnya, gue akan kasih contoh menarik versi awal mencari jodoh secara acak/random atau berkenalan dengan perantara/comblang.
Era "Kontak" Harian Kompas
Gue baru inget banget waktu lagi nyusun draft blog ini, ada salah satu bentuk perjodohan yang dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui koran nasional. Koran nasional yang gue maksud ini adalah Kompas; tepatnya dulu sekali mereka punya rubrik Kontak, yang kalau gue nggak salah inget, muncul di setiap edisi hari Minggu. Kenapa gue ingetnya hari Minggu? Karena halaman TTS Kompas hanya muncul setiap hari Minggu.
Berdasarkan beberapa sumber yang gue peroleh, rubrik Kontak (atau Pertemuan) disediakan bagi mereka yang merasa terdesak usia tetapi belum menikah. Patokan usia minimal bagi para pendaftar adalah 30 tahun untuk laki-laki, dan 27 tahun untuk perempuan, boleh bagi yang masih lajang maupun duda/janda. Gue inget waktu kecil dulu ngebaca rubrik ini masih ngerasa "apaan sih ini?" Sampai lambat laun ketika gue SMP atau SMA gitu, gue sadar "ohh ini ya fungsinya," dan percayalah, pendaftar yang masuk Kontak itu umurnya tua-tua, bisa dibilang banyak yang berada di atas usia 35 tahun.
Namun yang sangat terlambat gue sadari yakni rubrik ini ditutup pada awal Januari 2015 karena sudah masuk era digital dan jodoh bisa dicari/ditemukan secara daring; sedangkan gue inget untuk ngetik bagian ini adalah baru beberapa hari yang lalu. Terlambat 5 tahun untuk mengingat? Ya begitulah, namanya juga sudah tua hahahahaha.
Era Kantor Biro Jodoh
Secara mengejutkan gue perlu memasukkan ini juga ke blog ini, meski nggak akan detil banget. Selain buat panjang-panjangin isi blog ini, kantor biro jodoh itu beneran ada di Jakarta.
Bernama Yayasan Scorpio, atau biasa disingkat Yasco, secara resmi berdiri pada 11 Mei 1974. Dahulu beralamat di Jl. Pramuka di Jakarta Timur, namun sekarang (sepertinya masih beroperasi) di Jl, Kramat Lontar di Jakarta Pusat. Kalian bisa cari di Google namanya, dan akan muncul juga di Google Maps.
Yasco didirikan oleh mendiang Subky Hasbie. Beliau mendirikan Yasco ketika menjadi Ketua Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa Indonesia. Bahkan nama asli Yasco adalah Yakmi Service Corporation. Kenapa berganti menjadi Yayasan Scorpio juga karena kebetulan zodiak alm. Subky Hasbie adalah Scorpio.
Selebihnya bisa kalian cari sendiri atau bisa dibaca menggunakan sejumlah pranala yang gue letakkan di akhir postingan blog ini.
Baiklah, sekarang kita masuk ke era digital.
Era Digital
Era digital ini jujur aja bisa luas banget pembahasannya yah. Terutama dari awal 2000-an itu mulai bermunculan situs-situs kencan daring, penggunaan program/aplikasi ngobrol daring (dalam hal ini, Yahoo! Messenger dan mIRC), surat elektronik dan banyak lagi yang lainnya. Sedikit pertanyaan lucu: ada yang pernah klik iklan kencan online dari situs video porno nggak? Hahahaha. Kepo ama situsnya tapi ngeri kalau itu ternyata spam atau virus.
Oke, bagian ini akan gue persempit ke aplikasi yang ada di ponsel genggam, dan media sosial. Gue lebih fasih di bagian ini karena masih lumayan baru juga mengalaminya.
Era Digital: Aplikasi Ponsel Pintar: Tinder
Ponsel pintar, atau yang biasa kita sebut secara sok English sebagai smartphone, merupakan alat yang sudah pasti kita punya di tahun 2020 ini. Berbagai aplikasi juga tersedia di toko aplikasi (tergantung OS ponsel pintar kalian), salah satu tipenya adalah bersosial/sosialisasi. Ya, aplikasi kencan daring ini masuk dalam tipe sosial. Yeah, you go on a date, you socialize with other people.
Aplikasi yang sudah lumayan punya nama, seperti yang gue sebutkan di paragraf pembuka, ada Tinder, OKCupid, Coffee Meets Bagel, Bumble dan masih banyak lagi. Tapi yang akan gue sebutkan hanya yang pernah gue pake saja.
Tinder merupakan aplikasi yang paling umum. Tinder penggunaannya gampang banget, cukup isi profil (bio), mengunggah foto diri (maksimal sekitar 9 foto kalau nggak salah), pasang preferensi kalian (carinya pria atau wanita, dan di umur berapa), pasang juga radius pencarian, lalu mulai proses swiping atau menggeser.
Ya, menggeser foto-foto pengguna lain. Jika merasa cocok ya geser kanan untuk like, lalu geser kiri jika rasanya orang tersebut bukan kriteria yang diinginkan alias dislike. Nah selebihnya ngapain? Nunggu orang yang kita geser kanan untuk menggeser kanan profil kita juga sampai match atau cocok. Kalau sudah sama-sama match, di sini kita bisa mulai bertukar DM alias ngobrol via pesan pribadi.
Penggunaan Tinder selain untuk mencari jodoh atau teman kencan (atau bahkan hanya sekedar teman biasa) adalah untuk pass the time, atau membunuh waktu. Hal ini dianggap demikian karena mungkin dalam sehari kita sudah cek Facebook, Instagram, Twitter (dan Path? Hahaha), tapi rasanya masih ada yang kurang, eh ternyata Tinder belum dicek.
Batasan menggeser profil di Tinder adalah 100 kali dalam sehari, hal ini diterapkan agar kita sebagai pengguna benar-benar memeriksa tiap profil mereka ketimbang hanya sekedar nge-swipe. Anggapan lainnya juga adalah agar kita tidak membuka Tinder terus-terusan, khususnya pada saat jam kuliah atau jam kerja. Oh ya, penggunaan Tinder ini juga dibatasi untuk usia 18 tahun ke atas.
Info tambahan juga nih, Tinder ini meskipun aplikasi gratis, lebih tepatnya juga aplikasi freemium. Tinder menyediakan opsi untuk berlangganan secara bulanan, kalau nggak salah dimulai dari sekitar Rp 90.000-an IIRC. Apa saja sih yang didapat dari berbayar itu? Jumlah swipe yang tidak terbatas, serta super like berapa kali gitu dalam seminggu atau sebulan.
Super like? Oh iya super like itu fungsinya untuk memberi notifikasi pada profil yang kita suka banget. Jadi pengguna di seberang sana akan dapat notifikasi super like, dan selanjutnya ya tergantung orang tersebut mau like balik atau tidak. Bener-bener gambling banget ya peluangnya hahaha. Lalu selebihnya kalau kita nggak bayar, kita baru bisa menggeser-geser ke kanan lagi dalam 24 jam berikutnya, nunggu di-refresh gitu, jadinya cuman bisa geser kiri alias dislike.
Fakta lainnya dari penggunaan Tinder ini, tepatnya dari suatu laman Facebook yang ternyata sudah nggak aktif (jadinya nggak bisa gue kasih pranalanya di sini), adalah Tinder di luar Indonesia lebih digunakan untuk mencari pasangan hookup, one night stand, kencan dengan orang asing yang baru dikenal banget yang ditutup dengan hubungan seksual di hari itu. Nah gue nggak tau penggunaan Tinder di sini ada kecenderungan ke arah sini atau nggak, tapi ya Tinder, logonya api, memercik suatu hubungan baru, baik beneran jadi serius maupun hanya sebatas fuck buddy/casual sex.
Pengalaman Gue Menggunakan Tinder
Gue make Tinder itu beneran gambling gile sih. Gue waktu itu abis putus di sekitar quarter terakhir 2018, nyari-nyari aja mungkin ada yang nyantol. Dan gue beneran bayar, karena gue seringkali di kantor lumayan gabut, dan kantor gue berada di Jakarta Selatan, serta lumayan deket Kemang yang bisa dibilang salah satu prime location lah di Jaksel.
Terus gue dapet nggak? Dapetnya malah melalui kenalan di Instagram hahahaha. Nah bio pengguna cewek (gue nyarinya cewek karena memang gue masih heteroseksual) yang gue geser ini didn't tell much seinget gue, tapi ada username Instagram-nya. Gue waktu itu geser kanan nggak kunjung match, orangnya cakep sih karena gue udah sempet kunjungin (alias stalking ayyy) laman Instagram-nya, jadi ya gue DM aja kenalan di Instagram.
Ujungnya gimana? Cuman pedekate 3 bulanan dan nggak lanjut hahaha. Tapi juga gue semacam bersyukur sih nggak lanjut, ada alasannya tapi nggak perlu gue bilang di sini.
Oh ini tambahan sekaligus penutup bagian ini sih. Berdasarkan pengalaman gue pake Tinder, banyak banget pengguna cewek yang ngisi bio-nya nggak detil. Entah itu jual mahal atau emang nggak ngerti aja pake Tinder hahaha. Udah gitu juga yang cakep banget jarang lagi (maaf ya gue orangnya visual banget), banyakan mbak-mbak nyoba peruntungan. Hal semacam ini juga sempat disebut sama podcast BKR Brothers di sini.
Era Digital: Aplikasi Ponsel Pintar: OKCupid
Nah akhirnya tiba juga di bagian favorit gue, yakni menggunakan OKCupid (atau OKC). OKCupid ini tentunya sejenis dengan Tinder, eh lebih tepatnya emang satu perusahaan di bawah nama Match Group. Tetapi secara penggunaannya lebih enak. Lebih enak gimana? Banyak kayaknya, gue jelasin di paragraf berikutnya.
OKCupid ini dimulai dengan mengisi bio, yang ternyata lumayan detil; nama, tinggi badan, agama, preferensi seksual, lajang atau tidak, mencari pasangan untuk ngapain aja, nyari pasangan yang kayak gimana dengan preferensi di bio kita. Intinya, dari tahapan awal ini aja udah detil banget deh. Lalu dilanjutkan dengan menjawab question alias pertanyaan-pertanyaan unik yang disediakan oleh OKCupid yang nge-define kepribadian kita jika dilihat oleh pengguna lain. Oh ya, mengunggah foto juga tetap ada karena memang fitur wajib, tapi lupa bisa sampai berapa foto.
Gunanya apa sih sampai sedetil itu? Tujuannya agar pencarian jodoh (atau sebatas teman) kita dibantu oleh algoritmanya OKCupid, meski nggak selalu tepat sasaran juga sih, karena ujung-ujungnya bergantung sama radius pencarian.
Selebihnya OKCupid ini sama seperti Tinder, geser kiri dan kanan, bedanya sih se-pengalaman gue, jumlah geser/swipe-nya nggak dibatasi. Namun setidaknya di OKCupid terkurasi lebih baik, dan kita juga bisa ngelihat persentase kecocokan kita dengan pengguna yang kita cari; meski lagi-lagi ini nggak selamanya tepat sasaran karena ada juga pengguna yang malas mengisi bio-nya atau sok jual mahal hahaha.
Pengalaman Gue Menggunakan OKCupid
Gue menggunakan OKCupid ini karena semacam disarankan oleh kakak sepupu gue. Gue ngelihat sih aplikasinya lebih well-made daripada Tinder, yang menurut gue isinya acak serta nggak tersaring banget.
Oke, gue pernah kenalan ama seorang cewek lulusan arsitektur suatu universitas di Bandung, tapi gue lupa kenalan di OKC atau Tinder. Kemungkinan besar sih di OKC dulu, tapi lanjut di Instagram. Pernah ketemu sekali, gue ajak nongkrong dan gue anter balik. Itu cewek cakep, tapi somewhat gue ngerasa bahwa gue tu out of league banget buat dia. Nggak gue terusin sebagai pedekate sih, tapi gue kadang-kadang masih balesin story dia di Instagram, nggak lebih. Nggak, beda sama berharap, gue udah punya pacar sendiri dan ini lebih kayak biar nggak asing-asing banget.
Pengen sih gue lanjutin ceritanya, tapi gue akhiri dulu sementara di sini, dan akan bersambung ke bagian 2 karena masih ada yang perlu gue jelasin lebih banyak lagi sampai dengan gue ketemu pacar gue yang sekarang.
Pranala luar:
Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3
Sumber 4
Sumber 5
Sumber 6
Sumber 7
Edan banget lah ini seru banget risetnya hahaha.
Komentar
Posting Komentar